Di sebuah restoran, seekor kecoa tiba-tiba terbang dari suatu tempat dan mendarat di seorang wanita.
Dia mulai berteriak ketakutan.
Dengan wajah yang panik dan suara gemetar, dia mulai melompat, dengan kedua tangannya berusaha keras untuk menyingkirkan kecoa tersebut.
Reaksinya menular, karena semua orang di kelompoknya juga menjadi panik.
Wanita itu akhirnya berhasil mendorong kecoa tersebut pergi tapi… Kecoa itu mendarat di pundak wanita lain.
Sekarang, giliran wanita lain tersebut yang melanjutkan drama.
Seorang pelayan wanita bergegas ke depan untuk menyelamatkan mereka.
Saat yang bersamaan, kecoa tersebut terbang dan berpindah ke pelayan wanita tersebut.
Pelayan wanita berdiri diam, menenangkan diri dan mengamati perilaku kecoa yang baru saja menempel di kemejanya itu.
Saat sudah cukup percaya diri, dia meraih kecoa tersebut dengan jari-jarinya dan melemparkan keluar restoran.
Sundar Pichai memperhatikan semua kejadian itu sambil menyeruput kopinya. Pichai mulai bertanya-tanya dalam hati, Siapa yang bertanggung jawab atas kegaduhan yang baru saja terjadi itu?
Apakah si kecoa? Atau para wanita tersebut?
Jika memang kecoa yang salah, mengapa pelayan wanita itu tidak terganggu dan tidak bertindak heboh seperti kedua wanita tamu restoran itu? Bahkan pelayan wanita itu dengan cukup percaya diri menyelesaikan kegaduhan yang terjadi dengan baik.
Berarti kecoa tidak salah, tapi karena respon yang diberikan para wanita itu yang menentukan. Respon kedua wanita tamu restoran yang langsung membuat suasana menjadi kacau.
Kecoa itu memang menjijikkan. Tapi ia akan tetap seperti itu selamanya. Akan menjadi tantangan luar biasa besar untuk merubah kecoa menjadi lucu dan menggemaskan.
Begitupun juga dengan masalah.
Macet di jalan, teman kerja yang berkhianat, bos yang sok kuasa, bawahan yang tidak menurut, target yang kelihatannya sulit dicapai, deadline pekerjaan yang ketat, customer yang sangat cerewet, tetangga rumah yang mengganggu dan sebagainya.
Sampai kapanpun semua masalah itu tidak akan pernah menyenangkan.
Tapi, sejatinya bukan itu yang membuat semuanya kacau. Ketidakmampuan kita untuk menghadapinya yang membuatnya demikian.
Yang mengganggu wanita itu bukanlah kecoa, tapi ketidakmampuan wanita itu untuk mengatasi gangguan yang disebabkannya.
Pichai menyadari bahwa bukanlah teriakan orang tua atau atasannya atau bahkan istrinya yang mengganggu dirinya, tapi ketidamampuan dirinya untuk menangani gangguan yang disebabkan oleh teriakan tersebut.
Jadi, apa yang bisa Anda pelajari dari kisah ini?
Para wanita tamu restoran itu berekasi, sedangkan pelayan wanita itu merespon.
Reaksi lebih bersifat refleks dan naluriah, sedangkan respon itu sendiri merupakan reaksi yang sudah melewati fase berfikir.
Orang yang BAHAGIA itu bukan karena hidupnya tidak pernah menghadapi masalah dan semuanya sesuai dengan keinginannya.
Orang yang BAHAGIA itu karena mampu membuat RESPON, menanggapi keadaan dengan terlebih dahulu dengan berfikir.
Jadi, masalah tetap akan menjadi masalah. RESPON kita terhadapnyalah yang akan menentukan apakah akan tetap menjadi masalah atau akan selesai.
IGI - Berbagi dan tumbuh bersama
SAGUSABLOG - Workshop Online SAGUSABLOG Satu Guru Satu Blog yang diselenggarakan Ikatan Guru Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar